WHAT'S NEW?
Loading...

Sistem Pendidikan Yang Ideal


Oleh Najmuddiin Dliyaaulhaq (Alumni PP Muwahidun 2012|Ketua Umum IKAMU 2017-2019)


Bismillah,
Perkembangan zaman selalu diikuti dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Namun, bagaimana dengan sistem yang menghasilkan produk-produk tadi? Adakah perkembangan atau pembaharuan?

Di Indonesia, dengan budaya dan kemajemukan bahasa yang tinggi, menjadi arti bahwa Indonesia memiliki peradaban yang tinggi. Begitu pula dengan tingkat pendidikan masyarakatnya, karena sebuah peradaban berbanding lurus dengan tingkat pendidikan. Pendidikan barat yang dibawa para penjajah ke  Indonesia, bukanlah awal dari kemajuan sistem pendidikan di Indonesia. Sebab sistem yang ideal akan berubah mengikuti perkembangan zaman.

Jauh sebelum masuknya pendidikan ala barat di Indonesia, ada satu sistem pendidikan asli Indonesia, yaitu pesantren. Sistem pendidikan yang menitik beratkan pada aspek religiusitas, akhlaq, dan budipekerti. Karenanya di awal masa penjajahan pesantren sering menjadi sasaran penjajah, sebab bertentangan dengan tujuan mereka untuk mendapatkan 3G (glory, gold, gospel). Yang kemudian menjadikan banyak pesantren terletak di kaki gunung,  jauh dari kota untuk menjaga keamanan santri yang belajar di pesantren. Akibatnya pendidikan barat (sekolah umum) lebih sering terlihat dan terekspos masyarakat saat itu. Sehingga pendidikan asli Indonesia terpinggirkan bersama keotentikannya. Selain itu, sistem politik etis dan balas budi yang dilakukan Belanda, mempermudah para elit dan bangsawan belajar di sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. Sehingga menimbulkan kesan bahwa pendidikan hanya untuk kalangan elit dan bangsawan. Yang kemudian sistem dari sekolah-sekolah itu  diadopsi menjadi sistem pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaannya.

Namun ada satu titik kemajuan pendidikan yang sering terlupakan masyarakat kita. Di mana pendidikan pesantren disinergikan dengan sistem pendidikan barat pada awal abad 20-an. Dipelopori KH Ahmad Dahlan yang kemudian dicap sebagai kiyai sesat oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya karena menggabungkan sistem barat (orang kafir) dengan sistem pendidikan pesantren. Karena menurut beliau ,"Model pendidikan yang utuh yaitu, pendidikan yang berkesimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelektual, antara perasaan dan akal pikiran, serta antara dunia dan akhirat." (Buku Ahmad Dahlan).

Kendati demikian pemikiran masyarakat yang masih bersikap skeptis dan membenci penjajahan kolonial tidak tertarik terhadap gagasan pengembangan sistem pendidikan pesantren (agama),  sehingga pendidikan pesantren saat itu tidak berkembang secepat sistem pendidikan yang lain (pendidikan barat). Selain kurangnya dukungan lingkungan, pemerintah kolonial juga pemerintah setelah kemerdekaan tidak memberikan dukungan pengembangan sistem pendidikan tersebut. Sampai akhirnya pada masa orde baru terjadi dikotomi sistem pendidikan yang sangat terlihat. Sebagai salah satu indikasinya yaitu, tidak diakuinya lulusan pesantren untuk melanjutkan perkuliahan di perguruan tinggi.
Barulah ketika pemerintah melihat mulai maraknya problematika sosial, meningkatnya angka degradasi moral, rendahnya sikap nasionalisme, dan hilangnya substansi pendidikan, hingga yang paling parah moral anak-anak sekolah umum yang kian merosot mengikuti trend dan budaya barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur yang asli dan hidup di masyarakat. Pemerintah mulai memperbaiki kegagalan sistem pendidikan yang ada sebelumnya. Beberapa model kurikulum pendidikan karakter pun diganti. Hingga puncaknya, pemerintah mengesahkan nilai-nilai penguatan karakter peserta didik di sekolah-sekolah umum.

Sementara itu kira-kira sejak dua dasawarsa terakhir sudah mulai banyak kalangan yang mengakui bahwa alumni pesantren tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi tokoh nasional dan berkontribusi aktif dalam segala bidang dalam kenegaraan. Sebagaimana kontribusi beberapa pesantren yang sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan dalam memperjuangkan Indonesia. Hal ini juga bisa dilihat dari minat masyarakat yang mempercayakan anak-anak di lembaga pendidikan pesantren yang sangat tinggi. Dan sebagaimana data Kementerian Agama tahun 2012, menunjukan jumlah pesantren yang tercatat di Kemenag  sebanyak 27.230. Jumlah ini jauh meningkat dibanding data  1997, yang tercatat baru sebanyak 4.196 buah. Peningkatan jumlah pesantren yang sangat tinggi yang berbanding lurus dengan minat masyarakat yang tinggi terhadap sistem pendidikan pesantren.
Lalu apakah sebenarnya yang menjadikan minat banyak orang tua mempercayakan anak-anaknya di pesantren?

Dalam sebuah acara pada tahun 2014 di Surabaya, Mentri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan, bahwa pesantren merupakan produk asli Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki ciri khas kelembagaan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan lain yang ada di negara manapun selain Indonesia. Memperhatikan hal tersebut, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memetakan tiga trilogi pesantren sebagai bekal pengembangan potensi ekonominya.
“Ada tiga hal yakni dari segi pola pendidikan, aspek keagamaan, dan aspek sosialnya,” katanya.
Selain itu sistem pendidikan pesantren (moderen) yang dewasa ini sudah disinergikan dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah terlihat lebih efektif. Sebab pesantren memberikan lingkungan yang mendukung proses pembelajaran. Jadi bukan hanya mendapatkan ilmu agama, namun berikut ilmu yang membantu para santri untuk berkompetisi di dunia. Tak hanya itu, ustadz dan pengajar yang tinggal di lingkungan pesantren juga memberikan bimbingan lebih di luar kelas.
Tidak hanya akademik, berbagai macam kegiatan juga ditujukan untuk melatih soft skill santri. Sehingga bukan hanya akademisi yang pandai, namun juga manusia yang bermanfaat bagi orang banyak, sebagai bentuk realisasi bahwa Islam itu rahmatan Lil 'alamiin.

Jauh dari orang tua, peraturan yang mengikat, bukan merupakan kekurangan jika kita melihatnya dari sudut pandang positifnya. Sebab kehidupan serba instan saat ini, tidak menjamin anak-anak untuk mau mandiri dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Sehingga sikap mandiri itu akan tumbuh dengan sendirinya, ketika berada di tempat asing tanpa ada keluarga yang bersamanya. Hal ini juga yang dapat melatih seorang anak (santri) bagaimana dia berkomunikasi dengan orang lain, bahkan dengan orang (santri) yang berasal dari wilayah, atau suku yang berbeda.

Disiplin juga merupakan kelebihan sistem di pesantren. Bagaikan akademi militer, yang segalanya dihitung dengan waktu. Yang membantu proses pembiasaan mengatur waktu secara maksimal. Sehingga waktu santri tidak terbuang dalam hal yang sia-sia. Dan potensi yang dimilikinya terasah dengan baik secara otomatis. Bukan hanya tentang waktu, juga disiplin dalam hal mentaati peraturan. Dalam proses pembiasaan disiplin (tadib), sosok kiyai menjadi figur dan role model yang menjadi panutan dalam berlaku disiplin. Sehingga ketika terjadi satu pelanggaran, awalnya akan muncul sikap segan dan malu sebagai faktor psikis yang muncul karena telah melakukan pelanggaran. Namun kemudian berangsur berubah menjadi rasa takut kepada Allah, dan bukan lagi pada manusia.

Pergaulan di dunia moderen saat ini, yang mana degradasi moral dan hilangnya sopan santun menggerogoti kehidupan sosial masyarakat juga menjadi satu alasan mengapa memilih pesantren sebagai tempat belajar. Menghindari jatuhnya anak-anak muda penuh potensi terjerumus jurang pergaulan bebas, karena mengikuti keingintahuan mereka tanpa dasar aqidah, sikap, dan pendirian yang kuat.

Gubernur DKI Jakarta Anis Baswedan, dalam sambutan ASESI Islamic Education Expo yang ke 5 di TMII mengatakan, ada tiga hal yang harus dipersiapkan untuk pendidikan di masa depan. Akhlaq atau karakter, kompetensi, dan literasi (keterbukaan wawasan). Dalam hal ini beliau menjelaskan bahwa akhlaq (karakter) itu hal yang penting dan diakui secara global. Dan ada dua macam, karakter moral dan karakter kinerja.
Kemudian, kompetisi yang beliau sebutkan tersebut ada 4K, yaitu kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif. Tentunya pendidikan di pesantren seperti yang telah kami paparkan sebelumnya, sangat lah efektif dalam menunjang tumbuhnya akhlaq (karakter) santri dan empat kompetensi yang disampaikan tersebut.

Dan semua ini tidak lain adalah bentuk realisasi penerapan sistem pendidikan yang ideal menurut KH Ahmad Dahlan di awal tulisan ini, bahwa "Model pendidikan yang utuh yaitu, pendidikan yang berkesimbangan antara perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinan dan intelektual, antara perasaan dan akal pikiran, serta antara dunia dan akhirat."

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kondisi pendidikan di Indonesia, sudah banyak yang mulai menitik beratkan proses pendidikan pada penumbuhan karakter siswa. Namun, masih kurangnya role model di semua lembaga pendidikan menjadikan proses itu tidak berjalan maksimal. Maka, semakin urgennya hal ini sebab dikejar arus globalisasi yang kian menjadi kemudian memunculkan sifat individualis dan materialis di kalangan masyarakat, perlu diperhatikan proses pendidikan yang berorientasi pada pertumbuhan karakter. Dalam hal ini sistem pesantren telah terbukti berhasil. Banyaknya tokoh nasional yang muncul dari kalangan santri menjadi bukti nyata keberhasilan sistem tersebut.
Semoga dengan tulisan ini, telah membuka cakrawala wawasan kita bahwa pendidikan bukan hanya tentang berapa nilai yang didapatkan, namun pendidikan juga tentang apa yang sudah diaplikasikan dalam amalan-amalan yang membawa pada kehidupan yang sesungguhnya.
Allahu a'lam bisshowaab...