WHAT'S NEW?
Loading...

Siapakah Pahlawan Sebenarnya



Ditulis oleh: Najmuddiin Dliyaulhaq 
(Alumni 2012 - Ketum IKAMU PP Muwahidun)


"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Merdeka!" Takbir menggema di akhir pidato Soetomo, seorang revolusioner dan  penggerak di hari 10 November 1945. Hari itu kini diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional, sebab banyaknya jumlah pejuang yang gugur mempertahankan kemerdekaan yang baru berjalan tiga bulan. Begitu besarnya perjuangan di Surabaya saat itu, sehingga memicu pergerakan mempertahankan kemerdekaan di segala penjuru Indonesia.

Pahlawan; itulah sebutan untuk mereka, yang telah berjuang dengan gigih dan berani dalam mengorbankan segalanya bahkan nyawa untuk membela kebenaran atau yang lemah. Seperti ribuan rakyat Indonesia di Surabaya yang gugur saat itu. Pengorbanan mereka telah menjaga nama bangsa di mata dunia dari penjajahan. Begitupun pengorbanan salah seorang guru besar Islam di Indonesia dalam menggerakkan santri-santri menjaga kemerdekaan. Beliau K.H Hasyim Asy'ari, dan kiai lainnya di Surabaya, patut kita sebut sebagai pahlawan bukan hanya karena kegigihan dan keberanian mereka dalam menggerakkan pasukan. Namun juga karena para kiai tertancap keimanan dan semangat mati syahid dalam membela tanah air dan agama di setiap hati para pejuang Muslim di Surabaya.

Jikalau kita melihat sosok K.H Hasyim Asy'ari, beliau tentunya adalah seorang guru besar bangsa Indonesia. Begitu pula sahabat karibnya K.H Ahmad Dahlan, dan kiai lainnya yang tentu tidak mungkin kita sebutkan satu-persatu. Bagaimana tidak? Dari didikan mereka lahir anak-anak muda dengan ilmu, iman, dan kecintaan terhadap agama dan bangsa. Yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpin Indonesia. Sehingga mereka layak mendapatkan julukan "Pahlawan" yang sesungguhnya.

Bahkan setelah kemerdekaan, mereka yang ada di atas jalur yang sama seperti mereka dalam membangun peradaban, patut dijuluki pahlawan. Terutama mereka yang ada di jalur pendidikan. Maka siapa lagi kalau bukan guru dan pendidik bangsa. Dari mereka pemimpin-pemimpin muda Indonesia belajar banyak hal. Mengasah potensi dan mental, sehingga menjadi pribadi tangguh yang selalu menggunakan akal pikirannya untuk kebaikan. Juga menumbuhkan akhlaq dan iman supaya amanah serta kewajiban tak diremehkan.

Guru, pengajar, pendidik memiliki peran penting dalam sebuah peradaban. Maka layaknya sebuah tombak, para pemimpin muda itu bagaikan ujung tombak yang sedang diasah di sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang lain. Dan guru adalah tongkatnya, yang mengisi kekuatan dan kemantapan tombak itu. Karena mata ujung tombak itu tidak akan tertancap kuat pada sasaran, tanpa adanya dukungan, dorongan yang kuat juga.

Bukan hanya karena permisalan di atas, namun seorang pahlawan pun butuh seorang guru, pendidik yang bisa mengarahkan secara optimal gerak para pejuang. Sebut saja seorang Pangeran Diponegoro, gerilyawan yang berkali-kali menang dalam peperangan melawan Belanda di masa penjajahan. Beliau sebagai ujung tombak perlawanan membentuk pasukan dari rakyat, menyuplai persenjataan dari rakyat, namun siapa yang yang memberikan arah dan nasihat ketika terjadi kekeliruan? Maka guru dan kiai lah yang menjadi penasihat. Kiai Maja salah seorang kiai di Yogyakarta yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Yang juga menjadi perantara antara Diponegoro yang seorang anggota keluarga kerajaan dengan prajuritnya di tengah masyarakat. Sehingga, kekuatan perjuangan para pahlawan tak hanya didasari kebangsaan. Namun juga keimanan dalam menjaga kedaulatan serta kehormatan tanah kelahiran. Karena perjuangan saat itu, tak hanya melawan tentara yang membawa misi kemenangan, tapi juga misi pemurtadan.

Misal lainnya, kepemimpinan para pahlawan Islam di masa kenabian. Mereka para sahabat yang muda, yang memiliki pemikiran segar lah yang seringkali ditunjuk oleh Nabi dalam memimpin sebuah pertempuran ataupun menjadi utusan. Dan Nabi Muhammad menjadi guru dan pembimbing yang senantiasa meluruskan disetiap kesalahan.

Jadi, sejatinya awal kiprah dari sebuah karakter yang disebut pahlawan adalah adanya seorang yang memberikan ilmu dan pengetahuan, yang mengarahkan jalan perjuangan.

Guru, pendidik para pahlawan lah peran di balik layar dari berkembangnya sebuah peradaban. Tapi, adakah predikat kepahlawanan untuk mereka?  Sedangkan tidak sedikit dari para guru yang mengorbankan segala yang dititipkan Allah kepada mereka di jalur pendidikan. Pikiran, tenaga, waktu, harta dan sebagainya dengan penuh keikhlasan. Namun tak ada predikat pahlawan bagi mereka, karena memang pondasi keikhlasan perjuangan mereka telah mengalahkan segalanya, bahkan predikat kepahlawanan tak lagi dibutuhkan. Seperti kata pepatah, mereka adalah "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".

Namun jika kita lihat saat ini, dengan kenyataan yang terjadi dan adanya bukti di media sosial. Seringkali kita dapati karakter pahlawan pada mereka mulai pudar. Sebab perkembangan zaman dan gaya hidup moderen dan hedon. Padahal jika mereka pahlawan tanpa tanda jasa itu memahami


salah satu sabda Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, “Jika seorang hamba meninggal, terputus lah amalnya, kecuali tiga hal: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa seorang anak shalih untuk kedua orang tuanya”. (Hadits riwayat Muslim)

Bahwa ilmu yang bermanfaat akan senantiasa kekal pahalanya. Sehingga itu menjadi tabungan mereka di akhirat kelak. Tentunya jika ilmu yang diajarkan didasari dengan niat keikhlasan beribadah kepada Allah. Seperti halnya kedua orangtua yang dengan ikhlas membesarkan anak-anak mereka dengan impian kelak menjadi anak sholeh / solehah yang senantiasa mendoakan kedua orangtua dan bermanfaat untuk agama dan bangsa.

 Dan tentunya hal itu juga merupakan peringatan kepada kita sebagai anak muda, sebagai murid, agar selalu menghormati orangtua kita baik di rumah ataupun para guru dan pengajar kita sebagai pengganti orang tua kita di sekolah. Karena kebesaran jasa keduanya patut kita hormati, dan jasa serta pengorbanan mereka tak ternilai harganya.

  Akhir kata, marilah kita renungkan kesalahan kita kepada mereka, kemudian meminta maaf pada keduanya atas segala kesalahan kita. Karena keberkahan ilmu kita ada pada ridho-Nya kemudian mereka, para pahlawan tanpa tanda jasa.

              Jazakumullah khoiron katsir wahai para pengajar yang Allah muliakan.


“Heroes without a wisdom like a stray arrow. And the existence of teacher is a wisdom for them. So, they are behind of roles of heroes”



*Buletin UKHUWAH Ikatan Keluarga Alumni PP Muwahidun

 


0 komentar:

Posting Komentar