WHAT'S NEW?
Loading...

Militansi, Rasa Peduli dan Saling Memiliki



Kita semua tahu para pendahulu kita telah mencurahkan segala kemampuan dan usaha mereka dalam memperjuangkan bangsa. Tak terkecuali para ulama pendahulu yang begitu gencar berdakwah dan melakukan perlawanan. Begitu juga para tentara (terutama yang ada di tapal batas) yang rela berkorban untuk mejaga kedaulatan negara kesatuan kita. Bahkan dalam sejarah Islam, para sahabat begitu setia dan rela berkorban bahkan mendahulukan orang lain padahal dia sendiri membutuhkan.
Pengorbanan dan semangat berjuang inilah bentuk dari militansi. Sikap tangguh, luar biasa yang hanya dimiliki segelintir orang. Begitu pun dalam satu kelompok kecil organisasi. Namun, seringkali setiap bertambahnya anggota, setiap berkembangnya satu keompok, hanya sedikit menghasilkan segelintir orang itu? Adakah kesalahan dalam perkembangan kelompok? Memang segelintir orang itu adalah yang terpilih, yang selalu mencurahkan segala yang dia mampu. Tapi tentunya hal ini tidak menutup kemungkinan bagi selainnya untuk menjadi orang-orang terpilih itu. Karena mengacuhkan mereka yang bukan orang pilihan akan menjadi dampak hilangnya pembaharuan orang-orang pilihan di generasi mendatang.
Seperti yang penulis sampaikan, mengacuhkan, tidak peduli, bahkan membeda-bedakan (antara yang berprestasi dengan yang tidak) menjadi sebab berhentinya roda pembaharuan. Maka rasa peduli sangat perlu untuk ditumbuhkan.
Peduli, bukanlah ketika seseorang kesusahan kemudian kita memberikan bantuan,  bukan juga kita mencantumkan nama-nama orang yang kita perdulikan dalam sebuah prasasti. Peduli adalah rasa ketika ada yang hilang dari kehidupan kita, dan rasa untuk selalu ada bersama hal-hal yang kita perdulikan.
Sedikit pengalaman penulis yang mungkin bisa menjadi contoh konkret adalah sebuah lembaga pendidikan menengah yang jauh dari pusat kota. Yang mana sekolah tersebut memberikan kepedulian kepada peserta didiknya dengan memfasilitasi segala keperluan yang diperlukan untuk membantu peserta didiknya melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Bahkan hingga mengantar beberapa anak ke tempat tes dan pendaftaran (cerita yang didapat penulis ketika jangkauan internet tak semudah saat ini).
Hal seperti ini juga lah yang terjadi di awal masa Madinah(tarikh Islam). Sebagaimana para sahabat anshor yang peduli dengan keadaan sahabat muhajirin yang meninggalkan segala harta benda mereka. Sehingga para sahabat anshor memberikan fasilitas (harta mereka) dan berbagi kepada sahabat anshor.
Dan terkadang peduli itu masih belum cukup untuk menumbuhkan pengorbanan dan semangat juang yang tangguh. Maka rasa saling memiliki menjadi salah satu kunci dalam mencari hilangnya militansi.
Rasa memiliki seperti apa? Seperti yang di gambarkan dalam kisah dipersaudarakannya sahabat muhajirin dan anshor. Tentunya kita sudah mengerti, tanpa rasa saling memiliki sahabat anshor tak akan membagi harta mereka secara percuma. Juga seperti rasa saling memiliki dalam satu keluarga, itu lah yang menjadi kunci. Bahkan sampai ketika salah satu di antara anggota kelompok dalam satu majlis memiliki sedikit makanan, kemudian dimakan bersama-sama; karena dia merasa harta sedikit yang dimiliknya adalah milik bersama ketika dia membukanya untuk bersama. Dan dalam hal yang kaitannya dengan pendidikan maka waktu dan pengalaman yang pernah dilalui, serta prestasi yang diraih bersama-sama menjadi pengikat dan faktor yang menumbuhkan rasa saling memiliki.
Dua hal di atas(menurut penulis), rasa peduli dan memiliki itu lah yang menjadikan seseorang memiliki hati yang berani berkorban dan daya juang yang dipertaruhkan. Dan ada satu pertanyaan yang patut kita pertanyakan ke diri kita masing-masing. Bukankah kita akan mendapatkan perlakuan (dari manusia) sebagai mana kita memperlakukan orang lain?

Allahu a’lam bisshawaab

Ditulis oleh: Najmuddiin Dliyaaulhaq (Angkatan 2012/ Kadiv Pendidikan Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun)

Alumni Berikan Motivasi untuk Kelas 12 MA Muwahidun Pati

IkamuNews | Pati, 9 April 2017| Ujian Nasional adalah salah satu momen yang menentukan perjalanan seseorang dalam menempuh jalur pendidikan formal. Seperti yang akan di laksanakan esok pagi 10 April 2017 secara bersamaan  SMA/MA  di seluruh Nusantara. Walaupun penilaian kelulusan tidak 100% ditentukan oleh ujian nasional, namun tetap saja hal ini menjadi momok dan hal berat yang dihadapi para pelajar, terutama di tingkatan sekolah menengah atas atau yang sederajat.
   
        Untuk itu Alumni Ponpes Muwahidun yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun (ikamu) ingin membantu adik-adik angkatan yang esok akan menghadapi Ujian Nasional. Tentunya dengan memberikan suntikan motivasi kepada adik-adik angkatan dalam melalui dan menghadapi Ujian Nasional.
Tepatnya tadi pagi minggu (7/4) pukul 09.00 salah satu delegasi dan volunter Ikamu Nurul Fikri (angkatan ke-6 Ponpes Muwahidun) menyampaikan beberapa pesan. Diantaranya adalah beliau menyampaikan untuk fokus pada apa yang dihadapi besok. Kemudian beliau juga menyampaikan sedikit kalimat yang dinukil dari Ustadz Sigit Sulistyo (salah satu pendidik di Ponpes Muwahidun) bahwa beliau pernah berkata,"Orang yang berikhtiar tanpa doa, dia adalah orang yang sombong. Dan orang yang berdoa tapi tidak berikhtiar dia adalah orang yang hanya bermimpi".


          Selain itu Fikri (sapaan akrab beliau) menyampaikan bahwa lulusan Ponpes Muwahidun adalah kader da'i yang senantiasa ringan tangan untuk menolong agama Allah. Dan Ikamu akan senantiasa menjadi wadah pertama bagi para alumni yang juga akan membantu dalam memberikan informasi dalam hal menuntut ilmu dan melanjutkan pendidikann ke jenjang yang lebih tinggi.

Ketika Alumni Menjadi Barang Komoditi, Namun Pergi Tanpa Militansi



Sekolah adalah tempat asik penuh suka dan cita. Belajar berbagai hal menarik, bahkan menggali potensi diri untuk menjadi lebih berarti. Sehingga menentukan pilihan sekolah menjadi hal penting dalam kehidupan, terutama para orang tua. Maka tak jarang puluhan brosur, website bahkan sekolahan dikunjungi untuk mengetahui lebih lanjut mengenai fasilitas dan sistem pendidikan yang berjalan dalam satu lembaga pendidikan (sekolah). Namun ternyata banyak pula orang tua yang memiliki pandangan jauh ke depan sehingga memasukkan anaknya ke sekolah yang mampu menjadi batu loncatan yang mudah untuk meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan akhirnya suatu lembaga pendidikan (sekolah) menjadikan alumninya sebagai barang komoditi. Mencantumkan segala nama lulusan yang berhasil mendapat beasiswa di universitas unggulan, bahkan beasiswa ke luar negeri.
Memanglah benar alumni yang berprestasi dan memiliki kompetensi yang mumpuni dapat memainkan fungsi penting dalam membangun opini publik untuk menarik minat calon siswa baru. Dan secara logika hal ini pun dibenarkan, karena apabila alumni dari satu lembaga pendidikan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dalam mendapatkan beasiswa di universitas unggulan, besiswa pemerintah, bahkan beasiswa ke luar negeri dan dapat menunjukan prestasi dan kontribusi mereka secara riil di masyarakat, maka secara tidak langsung kualitas dan kuantitas calon siswa/i yang berminat untuk mendaftar akan meningkat. Tapi tentunya hal ini harus didukung dengan sistem pendidikan internal yang baik. Sehingga akan menghasilkan kesinambungan sumberdaya siswa/i dan alumni yang berkualitas, dan memiliki daya juang yang tinggi.
Namun logika di atas menjadi bermasalah ketika sistem pendidikan dan proses yang berjalan tidak menumbuhkan militansi (daya juang)  dalam hati peserta didik. Bahkan skala terburuknya logika diatas menjadi  pemicu kecemburuan serta pembatas persahabatan antara siswa yang mampu mendapatkan beasiswa dengan mereka yang tidak. Dan perlu kita ingat dan catat kalimat pertama di awal tulisan ini, bahwa sekolah adalah tempat asik untuk belajar dan menggali potensi diri. Sehingga proses berjalannya pendidikan sangat berpengaruh dalam menumbuhkan jiwa yang militan dan selalu ingin membanggakan almamaternya. Juga pendidikan bukanlah berapa nilai yang didapat untuk lulus lalu sukses, tapi bagaimana seseorang berproses menjadi manusia yang berarti (bermanfaat). Sebagaimana Rasulullah bersabda:
 عن ابن عمر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم «خير الناس أنفعهم للناس» رواه الطبراني 
جاء في شرح الجامع الصغير
Artinya: Dari ibnu umar rasulullah bersabda: “sebaik baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat untuk orang lain.”
Dan karena pendidikan tidak lah selalu diukur dengan nilai dan angka. Banyak hal dan prestasi di luar kelas yang memberikan pelajaran lebih daripada  duduk di dalam kelas. Bahkan dalam kehidupan nyata soft skill (kemampuan berinteraksi dan berinovasi(kreatifitas)) pun menjadi hal yang lebih dipertimbangkan dari ribuan nilai yang di dapat seorang siswa di kelas.
Sehingga menurut penulis, sistem, proses pendidikan, prestasi di luar kelas juga merupakan faktor penting untuk ditinjau dalam memilih satu lembaga pendidikan untuk dititpi generasi penerus kita. sehingga mampu menjadi khalifah(pemimpin) di bumi yang tidak terpaku pada nilai dan angka.

Allahu a’lam bisshawaab

“Alumni ada karena satu proses. Alumni sukses juga karena satu proses. Maka proses adalah katalis pengikat alumni ketika pergi, bukan pergi untuk jadi barang komoditi”

Ditulis oleh: Najmuddiin Dliyaaulhaq (Angkatan 2012/ Kadiv Pendidikan Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun 2015-2017)

Apresiasi Akar Prestasi


               
                 Saat itu dia ragu, karena kegagalannya dikompetisi sebelumnya dia tak mendapatkan hasil yang maksimal. Tapi kala itu (setahun kemudian) dia kembali ditunjuk dan diberi kesempatan kedua untuk menunjukkan kemampuannya. Namun sedikit rasa pesimis dan takut akan kekalahan yang akan dia dapatkan. Maka berratus kali dia bercerita dan selalu mengeluh kepada teman terbaiknya waktu itu. Seorang  yang juga ada di kompetisi yang lalu dan akan berada bersamanya dikompetisi yang akan datang bersamanya.
                Al hasil, berkat suntikan rasa percaya diri serta berbagai motivasi yang meyakinkan kenapa dia yang kembali dipilih. Dia berhasil untuk menjadi yang terbaik kedua dalam kompetisi itu. Tapi mungkin, karena hanya menjadi yang kedua apresiasi baginya tak sebanyak bagi para juara. Sehingga semangat dan pengalamannya terpendam dalam jeruji kegelapan hati.

                Dalam kisah yang lain, di tahun berikutnya dia dan beberapa kawannya mewakili sebuah nama sekolah dalam sebuah turnamen di kota sebelah. Minimnya apresiasi dan dukungan sudah terrasa sejak keberangkatan dia dan kelompoknya. Hal itu terlihat dari sedikitnya anggota kelompok yang diikut sertakan dalam turnamen. Padahal peluang mendapatkan prestsasi dengan banyak peserta akan semakin banyak bila jumlah pesertanya banyak. Dan lagi persiapan yang dilakukan jauh-jauh hari sudah disiapkan sebelum dikirimnya dia dan kawan-kawannya.
Sehingga saat keberangkatan hingga berlangsungnya turnamen muncul lah semangat-semangat buruk untuk membalas hati yang sakit sebab sedikitnya apresiasi. Benarlah semangat itu semakin membara ketika tiap-tiap kelas kelompoknya berhasil melalui tahap kualifikasi. Semangat mereka pun semakin menjadi untuk membalas hati yang sakit itu. Solid dan kobaran semangat mereka akhirnya berhasil memberikan mereka beberapa piala (kalau tidak salah 6).
Pembalasan itu terjadi sekembalinya mereka dari kota tetangga. Karena memang komunikasi yang terbatas teman-teman mereka yang ada di sekolah tentunya tidak tahu sebesar apa prestasi yang mereka raih dalam turnamen, apalagi pengajar mereka. Setibanya mereka bersama seorang ustadz yang menjemput, mereka dengan semangat yang masih sama memamerkan usaha keras mereka di depan kantor, menghadap mentari sehingga terlihat prestasi mereka berkilau bak emas yang tertimpa mentari. Namun sayang, seribu sayang... tak satu pun apresiasi datang menyambut kegembiraan mereka. Akhirnya hanya ustadz mereka yang akhirnya bisa menenangkan hati mereka yang sakit, karena pudarnya apresisasi seperti hilangnya kabut dihalau mentari.
                Ya, dua kisah di atas sedikit kisah dari teman-teman yang memberikan kita sebuah gambaran. "Apresiasi adalah penunjang prestasi" itu yang ada dalam pikiran penulis. Karena apresiasi dan dukungan buakanlah sebuah barang remeh yang tak kasat mata. Karena di atas apresiasi akan berdiri ratusan bahkan ribuan prestasi yang menjulang ke langit. Apa pun bentuk apresiasi itu pasti akan menjadi pondasi atas berbagai prestasi. Berapa pun umur manusia, maka apresiasi itu akan terus menjadi hal penting dalam hidup mereka. Apalagi dalam pendidikan, dalam dunia sekolah.
                Penghargaan terhadap sebuah prestasi bukan lah sesuatu yang mahal. Karena dukungan dan motivasi pun bisa diartikan sebagai sebuah penghargaan walau hanya dengan kata-kata. Penghargaan menjadi sesuatu yang penting karena manusia adalah makhluk sosial yang butuh  dimengerti dan dipedulikan. Dan apresiasi adalah tanda adanya kepedulian. Bahkan ketika mereka tak ada lagi di sisi kita barulah kita merasa bahwa tanpa mereka kita bukan apa-apa.

                Satu cerita lagi tentang hilangnya apresiasi yang menunjukan urgensi penghargaan terhadap satu karya ataupun prestasi.
               
Di sebuah sekolah swasta yang belum lama meluluskan angkatan pertamanya. Adalah seorang siswa yang mengabdi (setelah lulus S1) karena persyaratan beasiswa kuliahnya. Mengabdikan diri ke sekolah tempat asalnya belajar adalah suatu yang membanggakan, terlebih dalam benaknya sudah tersusun angan dan cita untuk memberikan yang terbaik sebagai balasan yang terbaik. Maka mulai lah beberapa inovasi diupayakan, walau berat untuk rutin dilaksanakan. Hingga pada akhirnya keterbatasan tenaga serta padatnya jadwal kegiatan, semangat berinovasi dan memberikan hal baru mulai pudar. Kemudian terbengkalai lah gagasan-gagasan cemerlang akibat hilangnya dukungan dan tingginya tekanan untuk berlaku sesuai apa kata atasan. Padahal dulu prestasinya dibangga-banggakan karena lulusan sekolahnya mampu mendapat beasiswa di universitas unggulan. Namun setelah kembali ilmunya tak dimanfaatkan, bahkan mungkin dilupakan. Padahal bila apa yang dia upayakan didukung, dikembangkan, dan dihargai, tentunya akan ada prestasi yang bisa membuat sekolah swasta itu bangga dan menjadi unggulan karena ada hal yang terbarukan.
Allahu a’lam...

“Prestasi Berdiri Di Atas Apresiasi”

Ditulis oleh: Najmuddiin Dliyaaulhaq (Angkatan 2012/ Kadiv Pendidikan Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun 2015-2017)

Pemimpi atau Pemimpin?


Pemimpi dan pemimpin dua kata yang bentuknya dibedakan oleh satu huruf. Yang akhirnya memberikan makna yang lebih, padahal sejatinya keduanya bermakna sama namun berbeda.
Pemimpi adalah orang yang selalu saja memiliki mimpi dan cita di dalam anggannya. Banyak hal yang ingin dia gapai. Berribu bahkan berjuta cita tersimpan dalam memori otaknya. Namun seperti halnya mimpi dalam tidur, semua mimpinya hanyalah mimpi, dalam sadar dan tidurnya. Tak nyata terasa sebagaimana pisau yang mengiris jari.
Sedangkan pemimpin adalah ketua dialah kepala, yang menuntun menuju sebuah tujuan. Orang nomor satu dalam sekelompok individu.
Pasti saat ini terpikir dalam benak kita, dimana letak persamaan keduanya? Padahal keduanya berasal dari kata dasar yang berbeda dan dengan arti dan definisi yang berbeda pula. Bagaimana bisa dikatakan sama?
Mungkin ini hanyalah opini semata, tapi yakinlah bahwa pemimpi dan pemimpin itu sama namun berbeda. Keduanya sama-sama memiliki mimpi, angan, dan cita-cita. Namun huruf “N” membedakan keduanya. Seorang pemimpin pasti akan berusaha tanpa kenal lelah untuk memimpin dirinya menuju mimpi-mimpinya. Karena dia tentunya selalu berpikiran bahwa apa yang dia perbuat akan menjadi motivasi bagi siapa yang ia pimpin. Berbeda dengan pemimpi yang hanya berangan tanpa perjuangan, berkhayal menanti keajaiban yang tak pasti.
Bisa kita ibaratkan mimpi itu adalah sebuah benih. Dan pemimpi adalah orang yang berkhayal benih itu tumbuh dan memberi keuntungan baginya, namun sebatas khayalan yang didapat sang pemimpi. Maka pemimpin dengan segala perjuangannya mendapatkan buah hasil dari benih yang diperjuangkan.
Sedikit contoh konkret yang ada di Indonesia adalah dua orang besar pada zaman itu (zaman reformasi) keduanya sama-sama orang yang berpengaruh. Namun ada pembeda dari keduanya, di mana yang satu memiliki mimpi untuk menjadi pemimpin negeri ini, sedangkan satunya belum memimpikan kursi kepresidenan. Dan kesempatan tak selalu datang berkali-kali, sehingga mimpi orang pertama yang ia cita-citakan ia gapai dengan izin tuhan. Berbeda dengan kawannya yang terlambat untuk memimpikan cita-cita itu, menjadi pemimpin bangsa ini.

Jadi, kesimpulan dari sedikit tulisan ini adalah, jadilah seorang pemimpin. Sebagaimana Allah amanahkan bumi ini kepada para pemimpin:

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَـٰٓٮِٕكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةً۬.....
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"…. (Q.S Al Baqarah: 30)

Dan syarat untuk menjadi pemimpin adalah mimpi. Mimpi yang ia perjuangkan hingga terwujud apa yang dimimpi dan dicita-citakan. Bukan hanya pemimpi yang hidup bersama angan tanpa realita.

“Jadilah Pemimpi tuk Jadi Pemimpin”

Diilhami dari sedikit pengalaman mengikuti Dauroh Tarqiyyah Thullab 2017 Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun di Ponpes Muwahidun Gembong

Ditulis Oleh: Najmudddiin Dliyaaulhaq (Angkatan2012/ Ka.Div Pendidikan Ikamu 2015-2017)