Militansi, Rasa Peduli dan Saling Memiliki
Kita semua tahu para
pendahulu kita telah mencurahkan segala kemampuan dan usaha mereka dalam
memperjuangkan bangsa. Tak terkecuali para ulama
pendahulu yang begitu gencar berdakwah dan melakukan perlawanan. Begitu juga para tentara (terutama yang ada di tapal batas) yang rela
berkorban untuk mejaga kedaulatan negara kesatuan kita. Bahkan dalam
sejarah Islam, para sahabat begitu setia dan rela berkorban bahkan mendahulukan
orang lain padahal dia sendiri membutuhkan.
Pengorbanan dan semangat
berjuang inilah bentuk dari militansi. Sikap tangguh, luar biasa
yang hanya dimiliki segelintir orang. Begitu pun dalam satu
kelompok kecil organisasi. Namun, seringkali setiap
bertambahnya anggota, setiap berkembangnya satu keompok, hanya sedikit
menghasilkan segelintir orang itu? Adakah kesalahan dalam
perkembangan kelompok? Memang segelintir orang
itu adalah yang terpilih, yang selalu mencurahkan segala yang dia mampu. Tapi tentunya hal
ini tidak menutup kemungkinan bagi selainnya untuk menjadi orang-orang terpilih
itu. Karena mengacuhkan mereka yang bukan orang pilihan akan menjadi dampak
hilangnya pembaharuan orang-orang pilihan di generasi mendatang.
Seperti yang penulis
sampaikan, mengacuhkan, tidak peduli, bahkan membeda-bedakan (antara yang
berprestasi dengan yang tidak) menjadi sebab berhentinya roda pembaharuan. Maka rasa peduli
sangat perlu untuk ditumbuhkan.
Peduli, bukanlah ketika
seseorang kesusahan kemudian kita memberikan bantuan, bukan juga kita mencantumkan nama-nama orang
yang kita perdulikan dalam sebuah prasasti. Peduli adalah rasa ketika
ada yang hilang dari kehidupan kita, dan rasa untuk selalu ada bersama hal-hal
yang kita perdulikan.
Sedikit pengalaman
penulis yang mungkin bisa menjadi contoh konkret adalah sebuah lembaga
pendidikan menengah yang jauh dari pusat kota. Yang mana sekolah tersebut
memberikan kepedulian kepada peserta didiknya dengan memfasilitasi segala
keperluan yang diperlukan untuk membantu peserta didiknya melanjutkan ke
jenjang sekolah yang lebih tinggi. Bahkan hingga mengantar beberapa anak ke
tempat tes dan pendaftaran (cerita yang didapat penulis ketika jangkauan internet
tak semudah saat ini).
Hal seperti ini
juga lah yang terjadi di awal masa Madinah(tarikh Islam). Sebagaimana para
sahabat anshor yang peduli dengan keadaan sahabat muhajirin yang meninggalkan
segala harta benda mereka. Sehingga para sahabat anshor memberikan fasilitas
(harta mereka) dan berbagi kepada sahabat anshor.
Dan terkadang peduli itu
masih belum cukup untuk menumbuhkan pengorbanan dan semangat juang yang
tangguh. Maka rasa saling memiliki menjadi salah satu kunci dalam mencari
hilangnya militansi.
Rasa memiliki
seperti apa? Seperti yang di gambarkan dalam kisah dipersaudarakannya sahabat
muhajirin dan anshor. Tentunya kita sudah mengerti, tanpa rasa saling memiliki
sahabat anshor tak akan membagi harta mereka secara percuma. Juga seperti rasa saling
memiliki dalam satu keluarga, itu lah yang menjadi kunci. Bahkan sampai ketika salah
satu di antara anggota kelompok dalam satu majlis memiliki sedikit makanan,
kemudian dimakan bersama-sama; karena dia merasa harta sedikit
yang dimiliknya adalah milik bersama ketika dia membukanya untuk bersama. Dan dalam
hal yang kaitannya dengan pendidikan maka waktu dan pengalaman yang pernah dilalui, serta prestasi yang diraih bersama-sama menjadi pengikat dan faktor yang menumbuhkan rasa saling memiliki.
Dua hal di atas(menurut penulis), rasa peduli dan memiliki
itu lah yang menjadikan seseorang memiliki hati yang berani berkorban dan daya
juang yang dipertaruhkan. Dan ada satu pertanyaan yang patut kita pertanyakan ke diri kita
masing-masing. Bukankah kita akan mendapatkan perlakuan (dari manusia) sebagai mana kita
memperlakukan orang lain?
Allahu a’lam
bisshawaab
Ditulis oleh: Najmuddiin Dliyaaulhaq
(Angkatan 2012/ Kadiv Pendidikan Ikatan Keluarga Alumni Muwahidun)